● online
Sejarah Kontemporer TNI & Politik di Indonesia
Rp 90.000 Rp 100.000Kode | SKT-21 |
Stok | Tersedia |
Kategori | Uncategorized |
Sejarah Kontemporer TNI & Politik di Indonesia
Dalam era Orde Baru pemerintah mendesain sejarah nasional dalam perspektif militer yang berat sebelah. Seolah-olah Kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh lewat perjuangan bersenjata (bambu runcing dan bedil), sedangkan perjuangan politik dan diplomasi yang dipelopori politisi sipil terpinggirkan. Padahal, tentara lahir dari sebuah kebijakan politik sipil! Fakta menunjukkan bahwa organisasi tentara Indonesia didirikan oleh para politisi sipil bersama-sama dengan para pemuda yang pernah mendapat pendidikan militer. Belanda dan Jepang, sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Karena itu—di awal kemerdekaan—tentara berada di bawah kontrol sipil (objective civilian control), demikian juga ketaatan militer tetap dalam koridor menjunjung tinggi supremasi sipil. Ini merupakan pembuktian kesetiaan tentara terhadap ideologi negara Undang Undang Dasar 1945. Keterlibatan tentara dalam politik di era revolusi semata-mata merupakan bentuk tanggung jawab tentara dalam mempertahankan kemerdekaan negara dari ancaman agresor asing.
Di era Demokrasi Terpimpin, tujuan keterlibatan tentara dalam politik mulai bergeser. Saat itu, tentara mulai melihat peluang mendapatkan akses penguasaan sumber daya alam, bisnis, dan kekuasaan politik. Di era Orde Baru, pemerintah yang berkuasa—meski tidak menyebut diri sebagai rezim militer, tetapi tidak bisa dinafikan—memiliki kekuasaan yang luar biasa kuatnya dalam mempengaruhi mesin birokrasi, politik, dan bisnis di Indonesia. Tentara di era Orde Baru, selain mempergunakan senjata untuk memperluas wilayah teritorial Indonesia (Operasi Seroja), juga menggunakan senjata yang sama untuk menghancurkan gerakan yang mengkritisi pemerintah (Peristiwa Tanjung Priok, Penangkapan Aktivis).
Dalam era Reformasi banyak pihak masih meragukan kesungguhan politisi sipil mengembalikan tentara ke tugas pokok sebagai penjaga keamanan negara. Dari semua kepemimpinan nasional, Presiden Abdurrahman Wahid yang memiliki kesungguhan dan keberanian mendorong TNI melakukan reformasi internal, meski risiko politik dibayar sangat mahal, yaitu jatuhnya dia dari kursi kepresidenan. Selepas era Abdurrahman Wahid, para pemimpin nasional—Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono—sangat memperhitungkan resistensi yang akan muncul apabila tentara ditekan untuk mempercepat reformasi internal. Ini yang menyebabkan reformasi TNI terkesan lamban dan kehilangan orientasi. Pergerakan reformasi internal TNI, saat ini, lebih banyak muncul dari kehendak perwira-perwira TNI cerdas yang memahami budaya dan sistem demokrasi.
Sejarah Kontemporer TNI & Politik di Indonesia
Berat | 300 gram |
Kondisi | Baru |
Dilihat | 992 kali |
Diskusi | Belum ada komentar |
Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.