Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Heni
● online
Heni
● online
Halo, perkenalkan saya Heni
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

Buka jam 08.00 s/d jam 21.00 , Sabtu, Minggu & Hari Besar Tutup
Beranda » Blog » SITASI, DAFTAR PUSTAKA, DAN ANTIPLAGIARISME DALAM PENULISAN BUKU AJAR *)

SITASI, DAFTAR PUSTAKA, DAN ANTIPLAGIARISME DALAM PENULISAN BUKU AJAR *)

Diposting pada 5 July 2018 oleh admin / Dilihat: 1.816 kali

SITASI, DAFTAR PUSTAKA, DAN ANTIPLAGIARISME

DALAM PENULISAN BUKU AJAR *)

Ali Imron Al-Ma’ruf

PBI FKIP & MPB Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

  1. Pengantar

          Sebuah karya ilmiah yang bagaimanapun baiknya dari segi substansi akan menjadi berkurang bobot ilmiahnya jika teknik pengutipan, penulisan daftar pustaka, dan penomorannya salah. Lebih-lebih jika terdapat di dalamnya terdapat kesengajaan untuk tidak mencantumkan sumber rujukan (referensi) atas kutipan yang diambil dari tulisan seorang pakar, itu berarti terjadi plagiarisme (pembajakan). Plagiarisme itulah yang disebut pelanggaran etika akademik. Dalam dunia akademik, plagiarisme itu sering disebut sebagai perilaku tidak terpuji bahkan ada yang menyebtunya sebagai “pelacuran ilmiah”.

Pengutipan pendapat/pandangan pakar dalam karyanya merupakan sebuah keniscayaan bahkan keharusan. Pengutipan tersebut lazim diikuti dengan penulisan daftar pustaka sebagai penjelasan atas pustaka atau referensi yang dirujuk. Hal itu sebagai upaya untuk memberikan landasan teori atau untuk memperkuat gagasan yang ingin dikemukakan melalui karya ilmiah. Sekaligus hal itu untuk memberikan acuan bagi pembaca yang ingin merunut lebih lanjut atas kutipan yang terdapat dalam sebuah karya ilmiah.

Demikian pula penomoran dalam penulisan karya ilmiah, harus mengikuti konvensi yang berlaku. Banyak karya ilmiah yang tidak mengikuti teknik peneomoran yang benar. Akibatnya hal itu mengganggu pembaca dalam pemahaman substansi terutama dalam merunut kesinambungan bab atau subbab.               Berdasarkan pemikiran dan realitas itulah maka dapatlah dipahami

______________

  • Disajikan dalam Workshop Penulisan Buku Ajar bagi Dosen Universitas Pekalongan, 15-16 Juni 2015 di Unikal Pekalongan.

bahwa teknik pengutipan (melalui wording, paraphrasing, dan summarizing), daftar pustaka, dan penomoran merupakan sesuatu yang harus dikuasai oleh ilmuwan.

 

  1. Teknik Penulisan Sumber Acuan

Di dalam penulisan karya tulis ilmiah terkadang penulis memerlukan beberapa kutipan yang perlu dibahas, ditelaah, dikritik, dan dipertentangkan atau diperkuat. Kutipan itu bisa berbentuk pendapat, konsep, atau hasil penelitian. Namun demikian, sebaiknya penulis mengutip kalau diperlukan saja supaya tulisan itu tidak dipenuhi dengan banyak kutipan. Di samping itu, seorang penulis harus mampu mempertanggungjawabkan ketelitian dan kecermatan kutipan yang diambil, khususnya kutipan tidak langsung.

Pendapat penulis dalam sebuah karya tulis ilmiah perlu dibedakan antara gagasan orisinal penulis dengan gagasan penulis lain yang dijadikan rujukan. Ini perlu dilakukan agar terhindar dari kesan bahwa penulis menganggap pendapat, konsep, dan hasil penelitian yang dirujuknya itu sebagai miliknya. Oleh sebab itu, fungsi kutipan dalam tulisan ilmiah itu antara lain: (1) sebagai landasan teori, (2) penjelas pembahasan, dan (3) pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh penulis lain (Akhadiyah dkk., 1997: 182). Selain itu, fungsi kutipan dalam tulisan antara lain: (1) untuk menunjukkan kepada pembaca  sumber informasi  bagi pernyataan ilmiah pada tulisan yang dibuat penulis; (2) untuk memenuhi kode etik  yang berlaku sebagai penghargaan atas tulisan pakar, tempat memperluas pembahasan yang diperlukan, tetapi tidak relevan jika dimasukkan ke dalam teks; dan (3) untuk referensi silang, yaitu untuk menunjukkan bagian/ halaman mana yang dibahas sama pada tulisan tersebut.

Setiap pernyataan ilmiah yang dituangkan dalam tulisan sebenarnya akan menyangkut beberapa hal. Pertama, harus diidentifikasi pakar yang menyatakan tersebut. Kedua, harus ditunjukkan  media komunikasi ilmiah yang dipakai untuk menyampaikan pernyataan ilmiah, misalnya: buku, majalah, makalah, surat kabar, dan sebagainya. Ketiga, harus dapat ditunjukkan pula lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiahnya, tempat, dan tahun penerbitan.

Ketiga hal di  atas sering diistilahkan dengan teknik notasi ilmiah. Yang penting diperhatian adalah keajegan (konsistensi) di dalam teknik notasi ilmiah tersebut.

Pendapat atau pernyataan pakar ditampilkan dalam uraian naskah untuk menunjang dan memperkuat ide-ide yang dikemukakan dalam karangan ilmiah tersebut. Penampilan kutipan sekaligus sumber acuan merupakan wujud pertanggungjawaban moral penulis dalam hubungannya dengan konvensi dalam karangan ilmiah atau kode etik ilmiah/akademik.  Lazimnya penampilan kutipan dan sumber acuan mengikuti cara konvensional dan cara baru sebagai berikut.

 

2.1 Cara Konvensional dengan Catatan Kaki: Ibid., Op. Cit., dan Loc. Cit.  

            Salah satu teknik notasi ilmiah yang konvensional adalah dengan menggunakan catatan kaki (footnote). Penomoran catatan kaki ditulis dengan angka Arab (1, 2, dan setersnya) di bagian belakang kutipan yang diberi catatan kaki, agak ke atas sedikit tanpa memberi tanda baca apa pun. Nomor itu dapat berurutan untuk setiap halaman, bab, ataupun seluruh tulisan. Penempatannya bisa secara langsung pada bagian yang diberi keterangan (catatan kaki langsung) dan diteruskan dengan teks, pada bagian bawah halaman atau pada akhir bab.

Teknik pengutipan konvensional dengan catatan kaki (footnote) lazim menggunakan istilah Ibidem (Ibid,), Opere Citato (Op. Cit.), dan Loca Citato (Loc. Cit.). Mengingat makin jarangnya cara pengutipan konvensional itu maka cara itu tidak dibahas lebih lanjut.

 

2.2 Cara Baru dengan Bodynote/Endnote

Untuk menampilkan sumber acuan dalam karya ilmiah lazim digunakan bodynote/endnote. Kutipan dalam karya ilmiah dari karya pakar disertai dengan pencantuman sumbernya secara langsung pada bodi tulisan itulah yang disebut bodynote/endnote. Bodynote/endnote dalam tulisan ilmiah dapat dibuat bervariasi baik di depan, di tengah, maupun di akhir kutipan. Hal itu perlu dilakukan agar pembaca tidak mengalami kebosanan ketika membaca tulisan ilmiah itu.

Contoh 1 (di akhir kutipan):

Tuhan menciptakan umat manusia dalam keadaan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan berhubungan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, sama sekali tidak beralasan orang memusuhi sesama manusia karena  berbeda suku, ras, warna kulit, agama, budaya, dan golongan (Raharjo,1999:27).

 

Contoh 2 (di awal kutipan):

Menurut Al-Ma’ruf (2003:7), pada era globalisasi terjadilah transformasi budaya di tengah masyarakat. Melalui infiltrasi, asimilasi, dan integrasi, terjadilah pergumulan antara nilai tradisi dan modernisasi. Karena itu, kini rasanya sulit sekali kita menemukan budaya lokal yang masih orisinal. Tampaknya, tak terhindarkan lagi kita sedang menuju pada terbentuknya budaya mondial yang universal.

 

Conh 3 (di tengah kutipan):

Issu gender akhir-akhir ini mencuat ke permukaan dan menjadi topik yang tidak  pernah basi di berbagai seminar. Memang, dalam masyarakat Indonesia, demikian Al-Ma’ruf (2004:5), bias gender sudah demikian luas terjadi di berbagai bidang. Sampai-sampai pendidikan anak baik  di keluarga maupun di sekolah pun mengalami bias gender. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarkal yang sudah mendarah daging dalam masyarakat kita. Hegemoni kekuasaan laki-laki demikian kuat dalam budaya masyarakat kita sedangkan kaum perempuan dipandang sebagai manusia pinggiran (inferior), subordinat laki-laki, bahkan manusia kelas  dua (the second class).

 

  1. Teknik Pengutipan Langsung (Wording) dan Tidak Langsung (Paraphrasing dan Summarizing)

Kutipan dapat dibagi menjadi dua yakni kutipan langsung dan tidak langsung.

 

3.1 Kutipan langsung (Wording)

Kutipan langsung ditulis dengan diberi tanda petik (“…..”), jika pendek (satu – lima baris) ditulis terintegrasi (dua/satu setengah spasi) dalam kalimat yang dibuat penulis.

Contoh 3:

Salah Satu dimensi kehidupan afektif emosional adalah kemampuan memberikan  perlindungan yang berlebihan, sebagai wujud cinta dalam arti “… a relationship that nourishes us as we give, and enriches us as we spend, and permits ego and alter  ego to grow in mutual harmony” (Cole, 1953:832).

Kutipan langsung panjang (lebih dari lima baris) ditulis pada tempat tersendiri dengan spasi tunggal, tidak diberi tanda petik (“…..”), dan penulisan pada baris pertama disesuaikan dengan jumlah ketukan pada penulisan alinea baru (5-7 ketukan) (Keraf, 1984:183)

Contoh 4:

Rahardjo (2007:21) berpendapat tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan kesuksesan hidup manusia sebagai berikut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata mayoritas manusia yang sukses hidupnya justru lebih banyak didukung oleh kecerdasan emosionalnya, bukan kecerdasan rasionalnya. Hal itu dapat dilihat dalam realitas kehidupan sosial betapa banyak orang yang pandai tetapi kurang sukses. Sebaliknya banyak orang yang ilmu pengetahuannya tidak tinggi tetapi justru sukses dalam menapak karirnya.

 

3.2  Kutipan Tidak Langsung (Paraphrasing dan Summarizing)

3.2.1 Parafrase (Paraphrasing)

Kutipan tidak langsung dapat dibagi menjadi dua jenis yakni parafrase (paraphrasing) dan pengikhtisaran (summarizing). Parafrase adalah teknik perujukan dengan mengambil gagasan utama (main idea) dari sumber yang dirujuk. Untuk menghindari penjiplakan atau plagiarisme, penulis harus memastikan bahwa struktur kalimat dan pilihan kata (diksi) yang digunakan dalam parafrase harus berbeda dengan pernyataan aslinya. Dalam setiap pernyataan yang merupakan hasil paraphrasing dari suatu sumber atau beberapa sumber tertentu, penulis perlu mencantumkan identitas sumber yang dirujuk.  Parafrase diperoleh penulis dengan mengambil inti/pokok pikirannya saja, redaksi kalimat dibuat sendiri oleh pengutip. Cara penulisannya adalah: kutipan disatukan (diintegrasikan) dengan kalimat penulis,  tidak diberi tanda  petik (“…..”).

Sejarah wacana keadilan gender (baca: feminisme) di Mesir sebenarnya telah bergema sejak awal abad XX. Ironisnya, wacana tersebut kelihatannya hanya berjalan di tempat. Perempuan Mesir pada umumnya, terutama di tingkat masyarakat bawah, masih mengalami ketidakadilan atau bahkan penindasan. Sejauh ini masih belum ada tanda-tanda yang memperlihatkan perubahan yang signifikan dalam relasi sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Polarisasi ekstrim elemen sosial ke dalam dua kutub berdasarkan seks (jenis kelamin) masih terjadi. Meminjam istilah Simone de Beauvoir, perempuan masih diposisikan sebagai the second sex atau being for others (ada untuk orang lain) (Siswanti, 2003:21).

 

Paragraf di atas dapat dibuat menjadi parafrase sebagai berikut (Contoh 5):

Perempuan di Mesir hingga sekarang masih mengalami ketidakadilan gender bahkan penindasan meskipun wacana keadilan gender telah berkembang sejak satu abad terakhir. Relasi sosial laki-laki dan perempuan masih seperti dua kutub yang berjauhan. Perempuan masih dipandang sebagai makhluk kelas dua (the second sex) atau eksistensinya sekedar menjadi pelengkap bagi laki-laki (being for others) (Siswanti, 2003:21).

 

Perhatikan contoh parafrase yang kurang benar dari kutipan di atas berikut ini (Contoh 6).

Wacana keadilan gender di Mesir telah bergema sejak awal abad XX. Sayangnya, wacana tersebut hanya berjalan di tempat sehingga perempuan Mesir masih mengalami ketidakadilan atau bahkan penindasan sampai sekarang. Polarisasi ekstrim elemen sosial ke dalam dua kutub berdasarkan seks (jenis kelamin) masih terjadi.  Perempuan masih diposisikan sebagai the second sex atau being for others (ada untuk orang lain) (Siswanti, 2003: 21).

 

3.2.2 Pengikhtisaran (Summarizing)

Adapun pengikhtisaran (summarizing) adalah teknik perujukan dengan menyarikan atau mengikhtisarkan (membuat ikhtisar) atas kutipan dari suatu sumber. Seperti halnya, parafrase, pernyataan-pernyataan yang gagasan utamanya diperoleh melalui summarizing perlu dilengkapi pula dengan identitas sumber yang dirujuk (nama penulis, tahun terbit, dan halaman. Sedikit berbeda dengan parafrase, summarizing merupakan bentuk ikhtisar yang lebih ringkas, padat, juga dengan menggunakan redaksi bahasa penulis sendiri. Summarizing bermanfaat sekali ketika penulis ingin mengambil esensi atau substansi semacam abstrak dari kutipan yang mungkin panjang, misalnya satu halaman atau lebih.

Contoh:

Karakteristik pluralitas Indonesia adalah kompleksitasnya di dalam hal etnik dan agama. Di Indonesia terda­pat tidak hanya puluhan etnis, melainkan ratusan etnis dengan bahasa dan budayanya masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda. Selain itu, berbagai etnik itu pada umumnya menganut agama masing-masing yang satu dengan lainnya berbeda, meskipun secara yuridis formal Indonesia menetapkan adanya agama-agama tertentu yang diakui negara yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika terasa pas dengan kondisi bangsa Indonesia yang memang pluralistik.

Kemajemukan bangsa Indonesia ternyata sangat rentan terhadap tindak kekerasan akibat konflik sosial terutama antar-etnik dan antar-agama, di samping antar kelas dan antar-golongan, yang dalam pembinaan politik di Indonesia sering disebut dengan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Kekerasan itu sejak lama telah muncul di beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja selama ini kekerasan itu tidak besar atau membesar dan tidak merember ke daerah lain. Namun, ketika bangsa Indonesia dilanda krisis moneter/ ekonomi sejak akhir 1997 hingga kini setelah gerakan reformasi –yang dimotori para mahasiswa dan intelektual–berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kekerasan itu menggejala di berbagai daerah. Sedikit saja ada gesekan, maka mudah sekali api perpecahan dan kerusuhan massal disertai tindak kekerasan kolektif (anarkisme) muncul. Akibatnya, rakyat yang tidak berdo­sa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Jakarta (2005), Solo (1998), Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Mataram (2000), massal disertai tindak kekerasan kolektif (anarkisme) muncul. Akibatnya, rakyat yang tidak berdo­sa harus menderita karenanya. Kasus kerusuhan Jakarta (2005), Solo (1998), Bali (1999), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Mataram (2000), Kalimantan (2003) dan Poso (2003-2006) adalah contoh aktual. Sekaligus mengindikasikan betapa kekerasan sosial akhir-akhir ini begitu fenomenal melanda masyarakat kita, yang dulu dikenal religius dan berbudaya santun: halus budi bahasanya, berbudi pekerti luhur, dan ramah-tamah. Sayang sekali, karakteristik bangsa Indonesia yang bagus itu kini tinggal ‘kenangan indah’.

Identitas “bangsa religius dan berbudaya san­tun” itu telah terkoyak dan ternodai oleh berbagai tindak kekera­san sosial di berbagai daerah. Semoga situasi di Ambon yang sudah cukup kondusif dapat terus berlangsung, setelah lama dilanda konflik antara komunitas Kristen dengan komunitas Islam. Namun, bukan tidak mungkin di dalamnya masih tersimpan bara yang dapat menyala sewaktu-waktu. Kondisi demikian tentu saja menimbulkan keresahan dan kegelisahan di kalangan masyarakat Indonesia yang sedang berjuang mengatasi kesulitan hidup akibat krisis ekonomi sejak 1997 dan mengatasi berbagai musibah di tanah air.

 

            Kutipan orisinal dari sebuah sumber tersebut dapat dibuat ikhtisarnya (summarizing) menjadi sebagai berikut (Contoh 6).

            Pluralitas bangsa Inddonesia baik dari segi etik, agama, bahasa, dan budayanya merupakan sebuah keniscayaan. Dengan kata lain multikulturalisme merupakan sebuah faktan yang tidak terbantahkan yang harus diterima oleh warga Negara Indonesia. Sayang sekali, akhir-akhir ini pluralitas atau multikulturalisme bangsa Indonesia itu telah terkoyak oleh berbagai konflik antar-etnis dan antar-agama yang disertai dengan tindak anarkis seperti terlihat pada konflik Solo (1980), Ambon, Maluku Utara (1999/ 2000; 2003/ 2004), Jakarta (2010), Kalimantan Barat (2003). Predikat “bangsa religius dan berbudaya san­tun“ pun kini perlu patut dipertanyakan.

 

  1. Catatan Kaki (Footnote) sebagai Keterangan Tambahan

Catatan kaki (footnote) secara konvensional sebagai keterangan sumber acuan sudah jarang dipakai dalam tulisan-tulisan modern. Namun demikian, dalam tata tulis karangan ilmiah modern, catatan kaki digunakan sebagai keterangan tambahan tentang istilah atau ungkapan yang tercantum dalam naskah yang dipandang perlu mendapat penjelasan, bukan menunjukkan sumber acuan. Catatan kaki dapat juga berupa rujukan kepada sesuatu yang bukan buku, seperti wawancara, pidato di televisi, dan sejenisnya. Kutipan yang akan diterangkan itu diberi nomor 1), 2), 3), di belakangnya. Nomor itu dinaikkan 0,5 spasi tanpa jarak ketukan.

Catatan kaki diletakkan di bagian bawah halaman dengan dibatasi oleh garis sepanjang tujuh ketukan dari margin kiri, dan jarak dari garis pembatas ke catatan kaki dua spasi. Nomor catatan kaki dinaikkan 0,5 spasi dan diberi kurung tutup.

Contoh catatan kaki:

Justru setelah diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi orpol dan ormas, tidak ada lagi kecurigaan ideologis dari pemerintah terhadap umat beragama. Ini membuat umat beragama dapat berkembang secara lebih sehat. Umat beragama menjadi tuan rumah di negerinya sendiri 5).

_______________

5) Di balik kejadian dan dialektika itu, baik Nakamura maupun Hefner (1994), melihat  landasan kultural yang memperhalus proses tersebut. Landasan kultural itu tak lain adalah pemahaman baru terhadap Islam, yang kemudian melandasi seluruh gerak umat Islam hingga berada pada posisi seperti sekarang ini, terutama hubungannya dengan pemerintah.

 

  1. Daftar Pustaka

Daftar pustaka ditulis pada halaman terakhir setelah bab penutup (simpulan dan saran). Tajuk Daftar Pustaka semua diketik dengan huruf kapital tanpa diberi tanda baca apa pun dan diletakkan persis di tengah-tengah kertas (Arifin, 1987:24).

Adapun cara penulisan daftar pstaka adalah sebagai berikut:

(1) Daftar pustaka disusun secara alfabetis menurut abjad nama-nama pengarang (nama belakang/ dibalik dengan diberi koma). Daftar pustaka tidak diberi nomor urut 1, 2, 3, atau a, b, c, dan seterusnya.

(2) Jarak antara baris satu dengan baris berikutnya adalah satu spasi.  Adapun jarak antara sumber satu dengan sumber yang lain dua spasi. Jika penulisan sumber buku tidak cukup satu baris, maka baris di bawahnya dibuat menggantung (hanging indent).

(3) Urutan penulisannya adalah: Nama penulis (nama akhir koma lalu nama depannya –jika nama penulis lebih dari satu kata—ditulis tanpa gelar akademik dan kebangsawanan). Tahun  terbit. Judul buku/ pustaka. Kota penerbit: Nama penerbit.

            Yang menjadi lema dalam penyusunan daftar pustaka adalah: (1) nama keluarga yang mengenal sistem marga (Batak: Nasution, A.H.; Eropa: Webster, J.; Cina: Chew, W.L.); (2) nama tua (Jawa: Rongowarsito, R.Ng.; Madura: Atmosugondo, M.D.), nama suami (Ganjar, I., Sastraprateja, S.), atau unsur nama akhir pada umumnya (Rifai, Mien A.); dan (3) unsur penunjuk de, do, la, von pada nama Eropa ( Steenis, C.G.G.J. van), atau unsur penunjuk ibn, al, el pada nama Arab (Abyad, M.S.H. el) (Rifa’i: 2004:51).

Jika terdapat nama dua pengarang, maka lazimnya hanya nama pertama yang dibalik sedangkan nama kedua dan seterusnya namanya ditampilkan seperti adanya/ tidak dibalik (sistem Vancouver/Amerika Serikat).

Jika sebuah tulisan ditulis oleh tiga pengarang atau lebih, lazimnya hanya nama pertama yang ditulis dalam daftar pustaka dengan menuliskan et al. atau dkk..

(4) Yang dicantumkan dalam daftar pustaka hanya sumber acuan yang dikutip isinya dalam uraian naskah, baik berupa buku, jurnal, surat kabar, hasil penelitian,  disertasi, makalah yang belum/ tidak diterbitkan maupun kitab suci dan hadits. Daftar pustaka meliputi baik yang dijadikan rujukan/ landasan teori maupun yang hanya menjadi bahan pendukung dalam memberikan penjelasan mengenai masalah yang dibahas.

(5) Jika terdapat beberapa buku/ pustaka yang ditulis oleh pengarang yang sama, nama pengarang hanya ditulis lengkap pada daftar pustaka yang pertama. Adapun pustaka di bawahnya cukup diberi garis: _______ (sepanjang tujuh ketukan) sebagai pengganti penulisan nama, dengan mengurutkan tahun terbitnya dari lama ke baru.

(6) Jika yang dirujuk berita dalam koran atau jurnal/ majalah, atau buku yang disunting oleh editor (Ed.), penulisannya adalah: Nama penulis. Judul artikel dalam tanda kutip (“….”). Nama koran/ jurnal (dicetak miring). Edisi tanggal bulan dan tahun.  Jika tidak ada penulisnya, penulisannya  adalah: Nama koran/ jurnal. Judul di antara tanda petik (“……”): Tanggal bulan dan tahun.

(8) Jika yang dirujuk situs internet, cara penulisannya adalah: Nama pengarang. Judul artikel. Alamat situs. (Keterangan diakses tanggal dan pukul berapa).

Berikut diberikan contoh daftar pustaka yang terdiri atas berbagai sumber: buku, artikel, makalah,  karya terjemahan, dan internet.

 

Al-Ma’ruf, Ali Imron. 1994. “Menggugat Pengindonesiaan Film Asing” dalam Republika

Edisi tanggal 24 Oktober 1994.

 

Baried, Baroroh, Imran T. Abdullah, Siti Chamamah-Soeratno, dan Darusaputra. 1992.

Filologi Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Muda Tinjauan Struktur dan Fungsi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

 

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Rencana Strategi Pendidikan Nasional.

Jakarta: Balai Pustaka.

 

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender & Perubahan Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

 

Naisbitt, John & Patricia Aburden. 1990. Megatrends 2000 Sepuluh Arah Baru untuk

Tahun 1990-an (Terj. FX. Budiyanto). Jakarta: Binarupa Aksara.

 

Nugroho, D. R.. Menantang Wayang. <http://wayang.i-2 co.id/artikel.html> (Diakses

tanggal 20 Mei 2004).

 

Pratedja, M. Sastra. 2014. “Perkembangan Ilmu dan Teknologi dalam Kaitannya

dengan Agama dan Kebudayaan”. Makalah disampaikan dalam Kongres

Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III, LIPI, Jakarta, 15 – 19 September

2014.

 

Rais, M. Amien. 2000. Suksesi Kepemimpinan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

________. 2000a. Mewujudkan Tauhid Sosial. Bandung: Mizan.

 

________. 2000b. Menegakkan Demokrasi dan Memerangi Arogansi Kekuasaan.

Yogyakarta: Shalahuddin Press.

 

Solopos. 2005. ”2006, UNS Buka S3 Ilmu Hukum”. Edisi 21 Maret 2005 Halaman 5.

 

Suprapto, B. 2007. “Aturan Permainan dalam Ilmu-ilmu Alam”, dalam Ilmu dalam 

            Perspektif. Yuyun S. Suriasumantri (Ed.). Jakarta: Gramedia.

 

Toffler, Alvin. 1987. Kejutan Budaya (Terj. Budiono). Jakarta: Aksara Jaya.

 

  1. Penomoran

Ada banyak cara untuk menuliskan penomoran dalam karya ilmiah. Jika karya ilmiah dibuat untuk dilombakan atau untuk dimuat dalam jurnal ilmiah (lebih-lebih) jurnal terakreditasi, maka konvensi yang berlaku harus diikuti.

 

6.1 Angka dan Huruf yang Digunakan

Penomoran yang lazim digunakan dalam karya ilmiah adalah dengan angka Romawi kecil, angka Romawi besar, dan angka Arab, di samping huruf kapital dan huruf kecil.

Angka Romawi kecil (i, ii, iii, dan seterusnya) dipakai untuk menomori Bagian Awal: halaman judul, halaman yang bertajuk prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik (jika ada) daftar bagan (jika ada), daftar skema (jika ada), daftar singkatan dan lambang. Angka Romawi besar (I, II, III, dan seterusnya) dipakai untuk menomori Bagian Isi: tajuk bab pendahuluan, tajuk bab analisis, dan tajuk bab penutup. Angka Arab kecil untuk menomori sub-subbab dan demikian pula huruf kecil. Angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya) juga digunakan untuk menomori halaman-halaman naskah mulai bab pendahuluan sampai dengan halaman terakhir (penutup, bukan lampiran) dan untuk menomori nama-nama tabel, grafik, bagan dan skema (Nugrahani dan Al-Ma’ruf, 2008: 57).

Dapat juga digunakan angka Romawi besar untuk bab, huruf kapital untuk subbab, angka Arab dan huruf kecil untuk anak subbab.

 

6.2 Jenis Angka dan Letak Penomoran

Halaman judul, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik, daftar bagan, daftar skema, daftar singkatan dan lambang menggunakan angka Romawi kecil yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah. Halaman yang bertajuk bab pendahuluan, bab analisis, bab simpulan, daftar pustaka, indeks, dan lampiran menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah. Halaman-halaman teks/naskah selanjutnya menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian atas sebelah kanan (kecuali ada ketentuan khusus).

 

6.3 Model Penomoran Bab, Subbab, dan Anak Subbab

Penomoran bab menggunakan angka Rowami besar, seperti Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV dan seterusnya. Subbab dan anak subbab dinomori dengan angka Arab sistem digital. Angka terakhir dalam digital ini tidak diberi titik (dapat 1.1, 1.2, 1.3; 2.1, 2.1.1, 2.1.2, dan seterusnya). Dapat pula bab dinomori dengan angka Romawi besar (Bab I, Bab II, dan seterusnya). Subbab dinomori dengan huruf kapital, dan selanjutnya sub-subbab dinomori dengan angka Arab (1,2,3 dan seterusnya).

Beberapa model penomoran karangan berikut dapat dijadikan acuan:

Sistem Desimal:

  • Susunan Lekuk

I.

1.1

1.1.1

1.1.2

1.2.1

1.2.2

1.2.2.1

1.2.2.2

II.

2.1

2.1.1

2.1.2

  • dan seterusnya

    

  • Susunan Lekuk

I.

1.1

1.2

1.2.1

1.2.2

II.

2.1

2.2 dan seterusnya

 

Sistem Angka dan Huruf

I.

A.

B.

II.

A.

1.

2.

B.

1.

a.

b.

2.

a.

1)

a)

(1)

(a)

b.

(lihat Nugrahani dan Al-Ma’ruf, 2015)

 

 

  1. Etika Akademik Versus Plagiarisme

          Plagiarisme merupakan tindakan mengambil/mengutip  karya/tulisan orang lain (pakar, penulis, peneliti) baik sebagian maupun keseluruhan dengan tidak mencantumkan sumber rujukan. Tindak plagiarisme dalam dunia akademik dipandang sebagai sebuah pelanggaran etika akademik yang dapat dikenakan sanksi akademik bahkan sanksi hukum. Seorang Doktor/Magister/Sarjana yang terbukti secara sah melakukan plagiarisme dapat dikenakan sanksi akademik antara lain gelar akademiknya dicopot atau dibatalkan oleh institusi/perguruan tingginya. Kasus Dr. Ipong Azhari (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, ilmuwan, dan kolumnis terkenal) merupakan contoh buram dalam dunia akademik yang tidak pantas dilakukan oleh ilmuwan/akademisi lain. Ipong Azhari dicopot gelar Doktornya karena terbukti bersalah melakukan plagiarisme dalam penulisan disertasinya.

Sebagai ilustrasi, banyak skripsi/tesis, makalah, dan laporan penelitian yang merupakan hasil copy paste dari karya orang lain (sementara ini terutama PTK). Demikian pula banyak kutipan dalam karya ilmiah baik berupa buku, makalah, maupun laporan penelitian yang tidak disertai dengan sumber rujukan. Itu pun disebut sebagai tindak plagiarisme yang harus dihindari. Harun Nasution (Guru Besar/mantan Rektor IPB) menyebut plagiarisme sebagai tindakan pelanggaran kode etik akademik yang dapat disejajarkan sebagai “pelacuran ilmiah” yang lebih hina derajatnya daripada “pelacur kelas tinggi”. Oleh karena itu, plagiarisme harus dihindari jauh-jauh agar akademisi tidak terjebak dalam predikat yang hina dina tersebut.

 

  1. Penutup

Pada hakikatnya penguasaan teori keilmuan dan kemampuan analisis masalah merupakan sebuah keharusan bagi seorang ilmuwan, termasuk mahasiswa sebagai ilmuwan muda yang ingin membuat karya tulis ilmiah. Namun demikian, tanpa disertai dengan kemampuan teknis di bidang metode penulisan ilmiah maka tulisan yang dihasilkannya menjadi berkurang bobot ilmiahnaya atau berkurang pula nilainya.

Dengan demikian, kemampuan teknis di bidang tata tulis atau metode penulisan ilmiah tidak dapat diabaikan. Substansi keilmuan sangat penting, kemampuan teknis di bidang metode penulisan ilmiah tak kalah penting.

 

Daftar Pustaka

 

Akhadiah, Sabarti, Maidar G. Arsyad, dan Sakura M. Ridwan. 2012. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

 

Al-Ma’ruf, Ali Imron dan Farida Nugrahani. 2015. Metode Penulisan Karya Ilmiah

            Panduan bagi Mahasiswa, Ilmuwan, dan Eksekutif. Yogyakarta: Pilar Media.

 

Arifin, Zaenal. 1997. Metode Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Bandung: Transito.

 

Natawidjaja, P. Suparman. 1997. Teras Komposisi. Jakarta: PT Intermasa.

 

Rifai, Mien A. 2012. Pegangan: Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya

          Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ingin cetak atau menerbitkan buku ajar ?? ==> 0823-3033-5859

Bagikan ke

SITASI, DAFTAR PUSTAKA, DAN ANTIPLAGIARISME DALAM PENULISAN BUKU AJAR *)

Saat ini belum tersedia komentar.

Silahkan tulis komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan kami publikasikan. Kolom bertanda bintang (*) wajib diisi.

*

*

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

SITASI, DAFTAR PUSTAKA, DAN ANTIPLAGIARISME DALAM PENULISAN BUKU AJAR *)

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Checkout